Oleh Fahd Pahdepie*
Apakah kita selalu bisa memilih yang terbaik, termasuk soal calon presiden? Bisa jadi iya. Tetapi bisa jadi juga tidak.
Bayangkan ada dua anak kecil yang sedang memilih-milih eskrim di sebuah minimarket. Keduanya bersahabat, meski seringkali bertengkar juga. Tiba-tiba anak pertama memilih es krim rasa stroberi. Karena tak mau memilih rasa eskrim yang sama, anak kedua memilih rasa vanila.
Setiap orang, termasuk kita sejak kanak-kanak, selalu ingin dipandang orang bahwa kita tidak salah pilih, bahwa kita sudah memilih yang terbaik. Pada kasus dua anak kecil tadi, anak pertama berusaha menunjukkan bahwa eskrim stroberi yang dipilihnya sangat enak. Bahwa ia sudah memilih pilihan yang tepat, meski sebenarnya dalam hatinya ia juga bertanya-tanya, apakah eskrim rasa vanila itu enak?
Anak kedua tak mau kalah. Melihat temannya membanggakan eskrim stroberi yang dipilihnya, ia mulai menunjukkan ekspresi betapa enaknya eskrim vanila. Melampaui rasa apapun. Ia mulai berteori tentang eskrim terbaik dalam hidupnya, bahkan eskrim terbaik di dunia, seraya mengatakan bahwa ia tidak salah pilih. Meski dalam hatinya, jauh di dalam hatinya, sebenarnya ia juga memendam rasa tertentu pada eskrim stroberi yang dipilih temannya.
Pada satu titik, upaya untuk saling membanggakan pilihan-pilihan yang kita buat, rupanya tidak cukup. Kita kerap terpancing untuk mulai mendegradasi pilihan orang lain. Menghina pilihan orang lain. Mengatakan bahwa pilihan orang lain itu buruk dan seterusnya. Pada kasus dua anak kecil yang membeli eskrim tadi, anak pertama mulai berargumen bahwa semua eskrim rasa vanila itu buruk. Bahwa semua pengalaman makan eskrim vanila dalam hidupnya adalah pilihan yang salah…
Anak kedua juga mulai mengingkari bisikan kecil dalam hatinya bahwa mungkin saja eskrim stroberi itu enak. Namun, karena gengsi, ia memasukkan eskrim stroberi ke daftar hitam pilihan dalam hidupnya. Ia tak mau lagi makan eskrim stroberi. Ia ingin membuktikan temannya salah pilih!
Peristiwa-peristiwa semacam itu, bisa berakhir dengan pertengkaran atau bahkan perkelahian. Tetapi bisa juga hanya menjadi perang dingin. Yang jelas, kecenderungan kita untuk tidak mau menerima kenyataan bahwa mungkin ada yang salah dari yang kita pilih itu selalu ada, bahkan sangat besar. Ego lantas memberinya bahan bakar lebih, kita terdorong untuk terbiasa merendahkan pilihan orang lain, menghina pilihan orang lain, mendegradasi nilai dari hal-hal yang tidak sesuai dengan pilihan kita sendiri.
Kita mengalami situasi semacam ini pada banyak peristiwa. Kita selalu ingin pilihan kita yang terbaik, tetapi sering kali tidak. Maka kita bisa bertengkar soal pilihan sekolah, soal pilihan jurusan saat kuliah, pilihan merek handphone, terus sampai jauh tentang banyak hal—termasuk soal pilihan calon presiden.
Pernah denger percakapan ini? “Kenapa sih dia pilih si A jadi suami?” atau “Kenapa dia milih tinggal di daerah itu ya? Padahal kan kompleksnya jelek banget, nggak kayak punya gue?” Atau “Kamu nggak salah nyekolahin anak di sana? Nggak mendingan bareng anak gue aja, sekolahnya lebih bagus lho!” Saya punya banyak stok kalimat dari percakapan bernada serupa. Kalimat-kalimat yang ingin mengatakan bahwa pilihan orang lain itu salah, tidak baik, dan seterunya.
Belakangan, kita menyaksikan banyak pertengkaran di media sosial, di grup WA, bahkan di dalam pergaulan sehari-hari tentang perbedaan pilihan capres. Secara kolektif kita menjadi orang yang tidak terima pada pilihan orang lain dan berusaha mengagungkan pilihan kita sendiri. Kita adalah orang dewasa yang terjebak pada memori pertengkaran dua anak kecil yang berdebat soal eskrim stroberi atau vanila.
Perlahan kita menjadi sangat egois, super egois, dan bahkan cenderung menutup kebenaran yang disampaikan oleh orang yang pilihannya berbeda dengan kita. Bagi pendukung Jokowi, semua tentang Prabowo dan pengikutnya itu buruk. Pun demikian dengan pendukung Prabowo, semua tentang Jokowi dan pendukungnya itu salah.
Tak berhenti sampai di situ, kita meningkatkan tensi egoisme itu menjadi penghinaan atau pelecehan. Pendukung Jokowi menyebut pendukung Prabowo sebagai kampret. Pendukung Prabowo memberi label pendukung Jokowi dengan sebutan cebong. Kadang, saya bertanya-tanya, apa bedanya kita dengan dua anak kecil yang bertengkar soal eskrim? Bahkan lebih parah lagi… Saat kita mulai menyematkan umpatan-umpatan yang keji seperti dungu, jancuk, dan seterusnya.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak Anda untuk sampai pada kesadaran yang lebih baik. Kesadaran untuk menerima bahwa kita memang selalu ingin pilihan kita merupakan pilihan yang terbaik, meskipun kadang-kadang tidak juga… Ada hal-hal yang harus kita akui bahwa ada yang kurang dari apa yang kita pilih. Ada yang lebih dari yang orang lain pilih. Namun tidak berarti kita punya hak untuk saling menjatuhkan dan mengerdilkan pilihan satu sama lain.
Kita hidup di abad demokrasi. Semua orang berhak memilih dengan preferensinya masing-masing. Dengan pertimbangannya masing-masing. Toh kita semua tahu bahwa setiap pilihan punya konsekuensinya masing-masing, yang bisa kita hitung bersama-sama. Bahwa beda pilihan, itu biasa saja, bukan?
Kalau saya memilih Jokowi, misalnya, saya tak ingin menyalahkan pilih orang lain yang berbeda. Saya tak ingin menjadi orang yang mengerdilkan atau menyalahkan pilihan orang lain yang tak sama dengan saya. Kita jalani saja semua proses perbedaan pilihan ini dengan dewasa…. Sampai tiba waktunya kita melihat hasilnya.
Tabik!
Jakarta, 10 Februari 2019
FAHD PAHDEPIE
Penulis, Pengusaha