Manuver Demokrat Berbahaya bagi Golkar, Nasdem, PPP, dan PKB

oleh -614 Dilihat
oleh

Nasrudin Joha |

Putra Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) bersilaturahmi ke rumah sejumlah tokoh saat Lebaran, seperti ke Jokowi, Megawati Soekarnoputri, BJ Habibie hingga ke keluarga Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut Demokrat, ada tiga poin muatan dalam kunjungan AHY-Ibas ke rumah para tokoh ini.

Muatan pertama yakni muatan sosial, kedua muatan religi, dan ketiga muatan politik. Kadiv Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat (PD), Ferdinand Hutahaean mengatakan kunjungan AHY dan Ibas memang tak bisa dilepaskan dari muatan politik. Namun, dia menyatakan Demokrat belum menentukan sikap terkait koalisi usai Pemilu 2019.

Kalau mau jujur, memang ada tiga muatan kunjungan putra mahkota Demokrat ke beberapa tokoh. Bukan muatan sosial atau religi, semua murni politik.

Pertama, untuk merapat ke rezim Jokowi Demokrat harus punya saham, punya andil, jangan tak berkeringat kemudian merapat dan kemudian meminta jatah komitmen merapat. Jika mau pasang balak kosong, bisa marah semua partai yang sejak awal berjibaku mengusung Jokowi.

Andil yang paling mungkin untuk diberikan, bukanlah dukungan politik agar elektabilitas Jokowi naik. Sebab, Pilpres telah usai dimana Jokowi telah menang meskipun dengan segudang kontroversi.

Andil yang bisa dimainkan Demokrat adalah memberikan dukungan dan legitimasi bagi kemenangan Jokowi yang selama ini digugat nalar publik. SBY telah memulai itu, dengan berpidato memberikan ucapan selamat kepada Jokowi sekaligus mengajak segenap elemen anak bangsa untuk segera menyudahi segala bentuk kontroversi.

SBY, bahkan rela menjadi ‘Mak Comblang’ untuk mempertemukan Prabowo dengan Jokowi. Pertemuan ini penting, untuk melegitimasi kemenangan Jokowi. Jika pertemuan Prabowo – Jokowi terjadi, apalagi hal itu terjadi atas andil SBY, praktis legitimasi kemenangan Jokowi meroket dan ‘SBY’ dapat bertengger diatas klaim ‘bapak bangsa yang mampu menjembatani rekonsiliasi’.

Andil ini, tentu bukan saham yang kecil untuk membuka atau mengajukan proposal sejumlah pos kekuasaan kepada Jokowi, baik untuk anak tangga bagi putra mahkota atau untuk jatah kapling kekuasaan bagi kader Demokrat.

Saat ini, Demokrat jelas masih punya ‘malu’ untuk terbuka mendeklarasikan diri mendukung koalisi Jokowi. Sebab, deklarasi dukungan tanpa kompensasi kekuasaan jelas tidak ada dalam kamus politik. Sementara itu, meminta komitmen kekuasaan tanpa berkeringat satu tetes pun, tentu akan membuat berang barisan partai yang sejak awal mendukung Jokowi.

Kedua, sarana untuk merapat ini ditempuh dengan memanfaatkan momentum Idul fitri, dengan menyambung silaturahmi dan mengunggah parodi berbangsa bahwa bangsa ini layaknya demikian, tidak perlu berlama-lama dalam keterbelahan. Sikap yang arif, adalah dengan memulai silaturahmi sekaligus segera melupakan perbedaan pandangan dalam dinamikan berbangsa dan bernegara.

Langkah ini, seolah luhur, arif dan bijak. Jika saja, publik tak melihat masifnya kecurangan yang terjadi, banyaknya korban jiwa petugas KPPS yang menjadi tumbal pemilu, juga korban jiwa akibat penanganan demonstrasi yang tak ramah kepada rakyat, tentulah seruan ini akan dipahami sebagai jalan tengah dan opsi penyelesaian berbangsa yang paling bermartabat.

Faktanya tidak demikian. Rakyat negeri ini, dipaksa menerima kecurangan dengan ikhlas, dipaksa meramut dan ikut menyulam kain tenun kebangsaan, setelah rezim Jokowi mengoyaknya secara brutal.

Demokrat tak pernah mengunggah kata prihatin, mengecam atau ikut berbela sungkawa atas kematian anggota KPPS, korban demonstrasi menuntut pemilu curang diadili, juga bungkam atas maraknya kecurangan yang terjadi begitu terstruktur, sistematis dan massif.

Ketiga, langkah yang ditempuh putra mahkota Demokrat selain untuk mengunggah proposal kepada Jokowi juga untuk mengukur respons partai pendukung Jokowi. Jelas, Demokrat tak ingin gegabah merapat jika kemudian akan menjadi objek bulian partai pendukung Jokowi yang sejak awal berjibaku memenangkan Jokowi.

PPP, melalui Arsul Sani menyebut ‘publik’ ingin tahu kejelasan posisi politik Demokrat. Baik Demokrat maupun Jokowi belum terbuka untuk menawarkan penjajakan koalisi.

Manuver PPP dengan meminjam nama ‘publik’ untuk mendorong keterbukaan sikap politik Demokrat sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik PPP di koalisi Jokowi. PPP sejak awal merasa berkeringat memenangkan Jokowi, berbeda dengan Pilpres 2014 yang hanya merapat setelah Jokowi menang.

PPP merasa lebih berhak mendapat jatah kompensasi kekuasaan lebih besar dari sebelumya, meskipun itu dilema karena suara PPP saat ini turun drastis. Tentu, kehadiran Demokrat ini sangat mengkhawatirkan bagi kepentingan politik PPP juga partai politik di barisan Jokowi lainnya.

Sederhananya, manuver Demokrat saat ini bukan untuk koalisi 01, bukan pula untuk 02. Demokrat, melalui kedua putra mahkotanya sedang bermanuver melalui kunjungan silaturahmi Idul Fitri ini murni untuk kepentingan politik Demokrat sendiri.

Posisi itu, tidak berbahaya bagi Jokowi maupun Prabowo. Yang patut khawatir dan sangat berkepentingan atas manuver Demokrat ini, adalah partai-partai mitra koalisi yang sejak awal berjibaku memenangkan Jokowi.

Manuver Demokrat ini berbahaya bagi Golkar, PPP, Nasdem dan PKB. Jika tidak hati-hati, partai pendukung Jokowi ini hanya akan capek kerja bakti politik untuk memenangkan Jokowi, sementara kue kekuasaan bisa saja justru dikangkangi Demokrat. [].

No More Posts Available.

No more pages to load.