Oleh: M Rizal Fadillah
Satu lagi dugaan bahwa gaya mafia bisa memainkan hukum. Panti Asuhan yang berlokasi di Jalan Mataram No 1 Bandung tepat di belakang Kantor Pengadilan Negeri (1) Bandung ini akan dieksekusi pertengahan Maret 2020. PN Bandung telah membuat penetapan.
Muhammadiyah PCM Sukajadi dan PDM Bandung bertekad untuk mempertahankan. Angkatan Muda Muhammadiyah akan melakukan aksi di lapangan. Tentu bukan untuk melawan hukum akan tetapi justru bagian dari upaya menegakkan hukum.
Menegakkan hukum? Iya karena eksekusi itu sangat dipaksakan padahal Muhammadiyah sedang menempuh gugatan perlawanan di PN Bandung atas “cacat hukum” eksekusi dan memproses dugaan pidana pemohon eksekusi melalui Polda Jabar. Delik yang dilaporkan adalah “Menyuruh memasukkan keterangan palsu pada akta otentik” Pasal 266 ayat (1) KUHP.
Semangat perlawanan sangat kuat dan didukung oleh banyak elemen di samping tentu Muhammadiyah sendiri, mengingat:
Pertama, keyakinan keagamaan bahwa Panti Asuhan Kuncup Harapan PCM Sukajadi ini merupakan hibah wasiat dari alm Prof Salim Rasyidi Dosen UNISBA. Hibah wasiat yang dituangkan dalam Akta Notaris ini disaksikan oleh tokoh tokoh seperti Prof Miftah Faridl, KH Rusyad Nurdin Alm, Dr. H Rahman Maas alm dan KH Mu’thi Nurdin, SH alm.
Kedua, terjadi kebohongan pada klaim jual beli antara alm Salim Rasyidi (92 thn) dengan pemohon eksekusi Mira Widyantini pada dua hal yaitu pertama, seolah olah sertifikat asal hilang, padahal tidak, sertifikat ada di tangan Muhammadiyah. Kedua, pengakuan bahwa alm Prof. Salim Rasyidi itu tidak beristri, padahal nyata nyata dengan bukti sangat kuat almarhum memiliki istri. Pengalihan hak atas dasar kebohongan adalah perbuatan melawan hukum.
Ketiga, proses hukum panjang sejak tingkat pertama di PN Bandung, banding di PT Bandung, serta kasasi Mahkamah Agung, Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai pihak Penggugat telah memenangkan perkara. Inkracht.
Akan tetapi tiba tiba tanpa “novum”, janggal, dan sekedar penafsiran anehnya di tingkat PK pemohon eksekusi Mira Widyantini dimenangkan.
Atas itulah perlawanan hukum masih dilakukan oleh Muhammadiyah baik perdata maupun pidana. Pemaksaan eksekusi yang “menggusur anak anak Panti Asuhan” jelas tidak mencerminkan landasan kebenaran dan keadilan.
Aroma mafia peradilan tercium. Tetapi sulit dibuktikan. Karenanya hanya perlawanan hukum, moral, dan keagamaan yang bisa dilakukan. Bahwa Mira Widyantini adalah puteri mantan Ketua Mahkamah Agung dan suaminya juga mantan Ketua BPN Bandung tentu tidak menjadi dasar gugatan atau dugaan.
Muhammadiyah hanya melawan atas dasar da’wah amar ma’ruf nahyi munkar, penegakkan hukum, serta mendidik para kader agar menjadi pembela keadilan dan berani melawan kedzaliman.
Kebenaran hanya bisa ditutup untuk suatu saat saja, tak akan bisa ditutup selamanya. Kebenaran dan keadilan mesti ditegakkan meski untuk itu butuh pengorbanan.
Mereka yang bermain main dan berbuat kriminal mesti dihukum.
Fastabiqul khoirot. Nashrun minallah wa fathun qariib.
*) Pemerhati Politik dan Hukum
Bandung, 7 Maret 2020