Penjaga Budaya dan Hayati

oleh -992 Dilihat
oleh

Asep Budi Setiawan

Sahabat, saya bertemu Kang Ade Suherlin, beberapa tahun lalu. Dia mengeluhkan situasi bangsa ini yang makin carut marut. Mengapa setiap persoalan yang muncul tidak menemukan solusi? Bahkan hilang seolah ditelan gelombang?

Sebagai pemangku adat Kampung Naga, Tasikmalaya, dia menyarankan untuk mengadopsi nilai-nilai yang diwariskan karuhun. Mereka hidup tenang. Bisa guyub dengan tetangga. Bahu-membahu untuk tetap survive tanpa meremehkan ajen-inajen hidup.

Dia pun sadar, komunitas adat mereka kerapkali dicibir, out of date, tidak mau mengikuti perkembangan zaman. Bahkan, mengapa harus diteladani, sedangkan mereka hidup pada masa kini dengan pola dan cita rasa yang berbeda?

Seperti dituturkan DR. Ade Makmur, antropolog dari Universitas Padjadjaran, komunitas adat dalam konteks kebudayaan merupakan kesatuan sosial yang dibatasi satu batas teritorial atau kawasan, menggunakan bahasa atau logat tertentu, ditentukan rasa identitas atau kesatuan ekologi, penduduknya mengalami (pengalaman) sejarah yang sama, interaksi antarwarga merata dan tinggi, serta susunan sosialnya seragam.

Dalam definisi lain, bahwa komunitas adat itu merupakan kesatuan budaya yang memiliki sistem sosial, kepemimpinan, mata pencarian, keyakinan, dan ciri khas lain yang menjadi identitas diri kesatuan sosial budaya tersebut.

Sebuah studi tentang Baduy, misalnya, menyodorkan dua karakteristik masyarakat yang berada di ujung barat Pulau Jawa tersebut, yaitu kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan di sekitarnya. Dari kedua unsur tersebut, muncul rasa gotong royong, tidak terpaksa dalam mengikuti dan menjaga kehidupan yang damai, sikap iri bisa diminimalisasi karena pekerjaan dilakukan bersama-sama kendati tidak hilang unsur demokrasinya, kepentingan sosial lebih menonjol dibanding kepemilikan individu, bahkan kesenjangan sosial dan ekonomi sangat dipahing (dihindari).

Kardinal Jean-Louis Tauran, saat menjabat Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog antar-Agama, menyampaikan kecemasan terhadap potensi besar ancaman terhadap perdamaian sejati yang dipicu clash of ignorance atau benturan ketidakpedulian yang dimiliki pihak lain. Sikap tidak mau tahu, bahkan sengaja untuk tidak mau memahami perbedaan yang dimiliki pihak lain, membuat orang terus tenggelam dalam stereotip, prasangka, mengenai pihak yang berbeda dengannya. Persoalan akibat perbedaan suku, agama, dan sebagainya – dalam era globalisasi — sungguh tidak bisa dihindarkan. Sedangkan pluralisme bukan semata-mata keragaman, tetapi merupakan sikap untuk mau lebih terlibat dalam dinamika keragaman tersebut.

Ade Suherlin memaklumi bahwa kita, sebagai bangsa, kaya akan budaya dan kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut bisa membimbing, mengoreksi, dan menata diri akan peran dan fungsi kita. Kampung Naga yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya, misalnya, memiliki warisan dari leluhur berupa ajaran “tri tangtu di bumi”. Yaitu “tata wilayah” atau tata ruang, aturan agar wilayah bisa dimanfaatkan optimal namun tetap terjaga dengan baik. Dalam bahasa Ade, sesungguhnya kita bukan menjaga alam, tetapi membiarkan alam. “Tata wayah” atau “tata wanci, era, atau zaman”. Salah satu keunggulan mereka bahwa Masyarakat Naga bisa membaca tanda-tanda alam dan bagaimana mengantisipasinya. Selain itu, ada “tata lampah”, menyangkut perilaku atau moralitas. Inilah yang sekarang kita rindukan sehingga anak-anak sangat perlu untuk diajari kembali budi pekerti dan nilai-nilai religi.

Komunitas adat bisa menjadi penjaga budaya karena mereka menyangga jatidiri kesatuan sosial dan budaya setempat, pewaris aktif nilai-nilai budaya luhur, sumber inspirasi bagi inovasi dan pengembangan budaya nasional. Sedangkan komunitas adat sebagai penjaga hayati karena perwujudan tradisi berkaitan erat dengan alam. Hukum alam adalah hukum Tuhan. Masyarakat adat, ketika akan bersentuhan dengan alam, sadar akan diri dan Tuhannya. Hubungan harmonis dilestarikan dengan sikap dan gaya hidup. Maka lahir norma dan falsafah hidup yang arif dan sadar akan kelangsungan generasinya. Dan kesadaran itu, ternyata, diterapkan dalam menjaga dan menghormati alamnya.

Memang masyarakat atau komunitas adat, oleh kita, yang hidup di masa kini, dan memiliki angle yang berbeda, adakalanya “dipaksa untuk modern”. Bahkan, hebatnya lagi, mereka diminta untuk meninggalkan tradisi yang memiliki nilai budaya luhur.

Sahabat, sejujurnya, cara hidup komunitas adat itu penting dalam menjaga bertahannya keanekaragaman budaya dan hayati. Hidup tradisional belum tentu buruk dibanding kehidupan modern, bukan?***

Kuningan, 29 Desember 2018

No More Posts Available.

No more pages to load.