Kadin Sikapi Perang Dagang AS-Cina

oleh -761 Dilihat
oleh

EKBIS – Amerika Serikat (AS) dan Cina masih terlibat perang dagang, sehingga hubungan keduanya merenggang. Melihat situasi tersebut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Shinta Wijaya memperkirakan untuk jangka pendek (1-2 bulan ke depan) tidak menganggu asumsi perekonomian dalam negeri.

Asumsi ekonomi Indonesia pada 2019 sudah realistis terhadap trade war. Memusatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan konsumsi dalam negeri, bukan kegiatan ekspor maupun investasi asing.

“Jadi, koreksi seharusnya minim sekali kecuali ada perubahan yang drastis di asumsi ekonomi AS dan Cina yg bisa mempengaruhi asumsi ekonomi makro Indonesia,” tuturnya.

Walau demikian, Pemerintah tetap harus mewaspadai pergerakan pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut. Khususnya terkait purchasing index China dan asumsi makro ekonomi AS. Shinta berpendapat ini akan mempengaruhi asumsi ekonomi Indonesia.

Jika perang dagang tereskalasi seperti yang diumumkan kedua negara setelah gagalnya negosiasi AS-China. Seharusnya ini membuka peluang Indonesia pada sisi ekspor produk konsumsi ke AS seperti garment-footwear dan produk perikanan.

Menurut Shinta, bila mengacu eskalasi perang dagang terakhir, hampir semua consumer products asal China akan terkena dampak. Justru produk ekspor unggulan Indonesia ke AS akan diuntungkan. Terutama apabila eksportir Indonesia bisa memacu skala produksi dan efisiensi produksinya di dalam negeri. Dengan itu, mereka mampu bersaing di pasar AS terhadap suppliers/kompetitor dari negara lain selain Cina.

“Ini khususnya akan sangat terasa pada pertumbuhan ekspor furniture dan produk perkayuan Indonesia ke AS karena produk ini tidak hanya merupakan consumer goods yang bersaing dengan China. Tapi juga produk tersier yang diuntungkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik dan daya beli masyarakat AS,” jelasnya.

Di samping itu, Shinta berujar, Indonesia juga bisa berpeluang menerima investasi yang lebih besar dari Cina ke Indonesia. Khususnya untuk beberapa industri manufaktur dengan teknologi yang cukup sophisticated. Kondisi ini terimplementasi apabila kebijakan trade war akan bertahan lebih dari satu tahun sejak 1 Juni 2019.

“Hal ini karena peningkatan tarif terhadap produk manufaktur Cina sudah pada puncaknya.Sehingga apabila kebijakan ini bertahan lebih lama, pelaku usaha manufaktur Cina akan tertekan untuk mencari production basebaru yang tidak diblokir oleh AS,” jelasnya.

Di sisi lain, Shinta mengatakan, Indonesia bisa menjadi salah satu kandidat tempat relokasi industri manufaktur Cina. Shinta mengatakan iklim investasi Indonesia cukup bersaing merangkul dan mengundang pelaku usaha Cina agar berinvestasi di Indonesia. Basis industri kita sudah cukup baik walaupun kurang efisien apabila dibanding dengan Cina atau Thailand.

“Jadi kunci untuk mengcapture peluang ekspor dan investasi ini ada di peningkatan iklim usaha dan iklim investasi di Indonesia sendiri,” ujarnya. (Warta Kadin)

No More Posts Available.

No more pages to load.