Masa Depan di Antara Dua Pilihan

oleh -1653 Dilihat
oleh

PENANTIAN untuk 10 Agustus yang panjang itu berakhir anti-klimaks. Paket capres-cawapres yang keluar sama sekali di luar ekspektasi publik. Meminjam istilah Mahfud MD, “Kecewa sih tidak, kaget saja”. Tetapi kita sudah biasa tak menaruh ekspektasi tinggi untuk para pemain politik yang ala kadarnya, bukan?

Seandainya Jokowi tetap memilih Mahfud MD dan Prabowo jadi menggandeng UAS, pertarungan dipastikan akan seru. Seperti El Casico antara Real Madrid melawan Barcelona. Namun, dengan Jokowi berpasangan bersama Kiai Ma’ruf Amin melawan Prabowo-Sandiaga Uno, tampaknya kita hanya akan menikmati pertandingan setara Persis Solo melawan Persija Jakarta saja.

Jokowi ternyata tak bisa melepaskan diri dari sandera partai-partai pendukung koalisinya—mengulang apa yang terjadi di tahun 2014 lalu, bahkan lebih buruk lagi, saya kira. Mulanya ia merasa bisa menentukan pilihan sendiri. Semua proses dilakukan, mulai dari melibatkan profesional untuk memberi saran, hingga meminta KPK untuk menguji rekam jejak calon yang diinginkannya. Calon-calon ia simpan di saku kiri dan kanan, agar pada waktunya ia bisa putuskan yang paling sesuai harapan.

Mahfud MD sebenarnya adalah calon yang ideal, hasil kocok nama di saku kiri dan kanan Jokowi itu, yang sesuai dengan pilihan hati sang calon presiden, tentu saja. Namun sayang, di detik-detik terakhir, pilihan itu harus digagalkan. Jokowi seperti calon pengantin yang membawa mempelainya sendiri, namun Ibu tak memberi restu dan keluarga besar terlanjur menyodorkan jodoh lain yang dianggap lebih mapan. Jokowi kalah di sana, bahkan ia harus meninggalkan jodoh pilihan hatinya itu di pelataran, untuk melakukan akad nikah dengan orang lain secara diam-diam di dalam rumah.

Prabowo lebih sulit lagi, tentu saja. Sejak awal Gerindra tak mungkin maju sendiri, ia wajib berkoalisi dengan partai lain agar dapat tiket pencapresan. Sang Jendral pun sowan ke sana kemari untuk memastikan semua berjalan lancar. Sempat muncul pasangan Prabowo-Aher yang didambakan PKS, Prabowo-UAS yang didorong ijtimak ulama termasuk PAN di dalamnya, Prabowo-Anies yang mempertimbangkan faktor elektabilitas agar mengulang romantisme Pilkada Jakarta, bahkan terakhir Prabowo-AHY yang dianggap akan menggabungkan dua kekuatan besar militer poros Cikeas-Kartanegara.

Namun, di masa ta’aruf memilih-milih mempelai itu, di detik-detik akhir, tiba-tiba datang gadis cantik sepupu dari kampung yang tajir melintir. Sandiaga Uno namanya, sama-sama dari partai Gerindra. Melihat Uno, Prabowo seolah tak berkutik, calon-calon lain pun tak berdaya, Demokrat ngambek bahkan menyebut Prabowo sebagai ‘lelaki kardus’—padahal mereka sudah ‘SIAP’. Prabowo bergeming, ia mantap dengan pilihan hatinya. Seperti kekasih yang teguh dengan prinsip ‘cinta saja tak bisa dipakai makan’, Prabowo pun melenggang ke meja akad nikah dengan menggandeng Sandiaga Uno di samping kanannya.

Demikianlah, pada akhirnya, politik praktis tak dapat melepaskan dirinya dari transaksi-transaki. Lihatlah aneka lobi, kompromi, dan agregasi kepentingan-kepentingan hari=hari belakangan ini. Semua pihak melakukan itu. Semua pihak tak bisa menghalaunya. Hingga menyisakan satu pilihan sempit buat kita rakyat biasa: Menentukan mana yang terbaik di antara yang tersedia saja.

Namun, saya sendiri akan tetap memilih. Buat saya golput bukan pilihan terbaik di alam demokrasi dan tak pernah menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah. Bedanya, kali ini memilih dan mendukung siapa akan menjadi dilema yang sama sekali tidak menyenangkan. Bukan dilema yang sulit, sebenarnya. Hanya tidak menyenangkan karena kita tahu seandainya ada yang kita pilih pun itu bukan sesuatu yang greget untuk kita perjuangkan mati-matian. Paling tidak, sampai detik ini.

Kecuali jika tiga syarat ini terpenuhi. Pertama, ada calon yang menawarkan gagasan dan program yang luar biasa—yang sekitika membuat kita mau belajar mencintai mereka. Kedua, ada kandidat yang memastikan dan siap pasang badang untuk menghindari intrik-intrik politik yang bisa memecah belah bangsa, mempertaruhkan keutuhan dan kesatuan NKRI. Kita bosan dan muak dengan politik identitas dan politisasi SARA yang terjadi selama ini.

Ketiga, dan ini yang paling penting buat saya, ada pihak yang menawarkan opsi pembeliaan politik kekuasaan. Pihak yang secara riil, terbuka, dan responsif siap untuk memperjuangkan regenerasi politik dengan memberikan seluas-luasnya akses dan ruang bagi generasi muda. Misalnya memastikan bahwa 50% kabinet akan diisi oleh anak-anak muda. Pemimpinnya boleh tua, tetapi roda pemerintahan harus dijalankan oleh mereka yang muda—seperti kabinet Mahatir di Malaysia.

Akhirnya, kita tidak tahu apakah akan ada poros ketiga atau tidak. Namun, melihat dinamika dan sistuasi politik yang ada, rasanya sulit membayangkan ada paket ketiga. Kita tunggu saja apa yang ditawarkan Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Kita ingin lihat komitmen, gagasan, dan visi mereka tentang bangsa ini. Saya ingin melihat keberpihakan mereka terhadap generasi muda. Semoga semuanya bisa terbaca dalam waktu yang tak terlalu lama, sehingga kita bisa segera membuat keputusan dan menentukan pilihan.

Tabik!

Jumat, 10 Agustus 2018

FAHD PAHDEPIE

No More Posts Available.

No more pages to load.