JAWA Barat, khususnya Priangan, adalah daerah yang sulit dipahami. Hal ini terlihat di antaranya di ranah politik dan agama. Penduduknya sangat fanatik, tetapi juga unik.
Berbeda dengan gambaran umum umat Islam Indonesia umumnya yang mudah sekali dibagi berdasarkan orientasi tradsionalis dan modernisnya, orang Sunda mempunyai karakter yang berbeda. Dari sisi praktik sosio-kultural mereka seperti NU, tetapi dari sisi praktik politik mereka seperti Masyumi, bahkan DI (Darul Islam). Tetapi itu berarti mereka bukan NU bukan pula Masyumi bukan pula DI. Oleh karena itu, pengaruh ormas-ormas Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah, bahkan Persis, di daerah ini tidak terlalu besar.
Pihak yang paling berpengaruh justru kelompok-kelompok lokal, termasuk kyai-kyai dan jaringannya yang bekerja di luar ormas-ormas Islam arus utama. Misalnya Pesantren Miftahul Huda dan jaringan Hamida (himpunan alumni Miftahul Huda) yang kemarin sangat berperan dalam Pilkada memenangkan pasangan Rindu. Mereka ideologis tetapi pragmatis pada saat bersamaan.
Keberadaan aktor-aktor inilah yang menjelaskan mengapa meski terkenal Islamis-fundamentalis, tetapi pencapaian partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar di Jawa Barat, khususnya Priangan, tetap besar. Khususnya Golkar, saya lihat mereka berhasil mempertahankan hubungan dengan aktor-aktor lokal tersebut secara baik. Di Garut, Sukabumi, dan Cianjur sebagai contoh, mereka masih dominan.
Selama berkuasa 10 terakhir, PKS ingin mengubah peta politik agama tersebut. Sebagian berhasil, sehingga membentuk elemen pokok Islamisme yang dalam taksiran saya mencapai 30 % dari populasi pemilih, tetapi sisanya masih terbuka untuk diperebutkan. Karakter pragmatis yang melekat pada cara hidup orang Sunda membuat siapa yang akan memenangkan Pemilu 2019 di Jawa Barat belum bisa diramal dengan mudah.
Amin Mudzakir | Peneliti di LIPI