SOSBUD – Banyak hal yang sudah dikerjakan para guru NU dalam mencerdaskan anak bangsa serta menjaga negeri ini, terutama dari bahaya radikalisme. Namun itu tak cukup. Persatuan Guru NU (Pergunu) butuh “storyteller” untuk memviralkan apa yang sudah dilakukan para guru NU dan pesantren selama ini.
“Perlu ada orang yang terus bercerita tentang urgensi pendidikan NU, pesantren dan urgensi negara ini dalam memberikan perhatian pada guru NU,” tutur Ketua Umum PP Muslimat NU, Dra Hj Khofifah Indar Parawansa, MSi saat membuka Konferensi Wilayah (Konferwil) Pergunu Jawa Timur di Institut Abdul Chalim, kompleks Ponpes Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto, Sabtu (5/8/2017).
“Bagaimanapun format yang kita siapkan harus tetap tersistematisir, dilakukan secara programatik, dan itulah salah satu tugas Pergunu.”
Khofifah mengingatkan, menunjukkan peran besar pesantren dan Pergunu bukanlah riya’, melainkan syi’ar. “Syiar kita ini masih lemah sekali. Ada orang sukses di satu titik, misalnya, itu karena mereka memviralkan. Tapi kesuksesan pendidikan NU tak terviralkan, karena itu kita butuh storyteller,” tandasnya.
Bagi Khofifah, storyteller ini penting, terlebih saat ini era teknologi dan kecenderungan masyarakat memanfaatkan media sosial. Jangan sampai kiprah besar Pergunu atau mereka yang terlahir dari sekolah dan pesantren NU yang memiliki jiwa “NKRI harga mati”, tidak tersyi’arkan.
“Tidak cukup hanya cerita face to face begini (lewat forum resmi), karena waktu masing-masing tak mudah kita bertemu,” katanya. “Tapi kalau kita menjadi storyteller di seluruh sosmed (sosial media) kita, maka itu akan menjadi bagian dari viral bagaimana menyiapkan anak didik yang bener dan pinter,” ujarnya.
Ilmu Langka
Di kalangan NU, orang yang memiliki jiwa storyteller masih sangat terbatas. Khofifah mencontohkan salah satunya Gus Irfan Wahid, putra KH Salahudin Wahid (Gus Sholah), pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang.
“Gus Irfan Wahid ini satu dari segelintir orang yang memahami bagaimana mempromote sebuah proses. Ilmunya langka di Indonesia sampai hari ini. Menjadi storyteller yang terus bercerita, termasuk lewat Instagram, Twitter dan diviralkan,” katanya.
Karena itu, Pergunu harus menjadi storyteller di seluruh media sosial dan memviralkan bagaimana kita menyiapkan anak didik, sekali lagi, yang bener dan pinter.“Pergunu ini punya peran penting tapi tidak mensyi’arkan. Ini lho anak kami, academic equipment-nya bagus. Islamnya bagus, bukan yang radikal dan bernegaranya juga bener. Tapi ini kan butuh proses, butuh diviralkan,” tambahnya.
Mumpung ada momen Konferwil, Khofifah mengaja para guru NU mulai menjelajah media sosial secara serius dengan rajin membuat hastag tentang Pergunu.
Misalnya hastag #Pergunu atau #SekolahNU, agar tersyi’arkan bagaimana sebetulnya peran guru NU dalam menanamkan keislaman, keagamaan maupun kebangsaan dalam satu irama proses pembelajaran di sekolah. “Hastag ini akan menjadi viral kalau diviralkan dan berhenti kalau kita tak memviralkan,” katanya.
Dengan demikian, Pergunu akan menghiasi sosial media yang berujung memunculkan top of mind, karena pendidikan di negeri ini sebetulnya sangat banyak berutang budi pada peran guru NU.
“Meskipun masih banyak yang belum bersertifikasi,” seloroh Khofifah yang disambut gelak tawa peserta Konferwil. “Hari ini memang ritmenya begitu, apa-apa harus tersertifikasi biar ada pertanggungjawaban secara akademik,” tuntasnya. (Nur/www.muslimat-nu.com)