SAYA Golput. Saya berduka atas wafatnya lebih dari 500 petugas Pemilu 2019. Saya juga berdoa atas kesembuhan lebih dari 3000 petugas Pemilu yang sakit.
Mereka semua bukan pahlawan demokrasi.
Petugas Pemilu yang meninggal dunia dan yang sakit ini merupakan dampak buruk dari kebijakan kerja di lapangan atau teledornya rekruitmen akibat kerja berlebihan di lokasi dan kondisi fisik usia tua, misalnya.
Pemilu sebelumnya di negeri ini dan juga Pemilu di negeri lain tak pernah petugasnya mengalami kematian dan sakit massal seperti Pemilu 2019 di negeri ini.
Ini tragedi nasional.
Saya percaya pihak KPU RI 2019 tak ingin tragedi ini terjadi. Agar tak muncul pertanyaan atas timbulnya tragedi ini, perlu dilakukan penyelidikan. Jika tidak, opini publik mengenai tragedi ini bisa berdampak buruk kepada kredibilitas KPU RI 2019 — termasuk hasil Pemilu.
Santunan bagi petugas Pemilu yang meninggal dunia dan bantuan kepada mereka yang sakit tentu bagus. Namun bukan berarti dengan ini semua sudah selesai masalahnya.
Wajarkah kematian petugas Pemilu sebanyak ini? Pertanyaan ini memuat kelembutan hati. Bukan jawaban teknis-pragmatis belaka yang bisa cukup menjawabnya secara mendasar dan memadai.
Hilangnya nyawa tak sama dengan rusaknya lembar kertas suara.
Saya Golput. Kematian para petugas Pemilu ini membuat saya menganggap Pemilu kali ini tidak manusiawi — bahkan terasa keji. Tragedi ini lebih mengerikan ketimbang kecurangan yang terjadi dalam proses demokrasi.
Apa tanggung jawab KPU RI atas tragedi ini?