Daya Sentak Teater

oleh -479 Dilihat
oleh

Pandu Hamzah

Membaca status teman-teman hari ini tentang Hari Teater, saya teringat Teater Sado yang pementasannya baru sekitar dua minggu lalu saya nikmati.

Bagi saya, apa yang digetarkan anak murid almarhum Aan Sugianto Mas dalam Pementasan “Arok Dedes Terperdaya atau Memperdaya Menjadi Sah-Sah Saja” dari tanggal 17 Februari s/d 10 Maret 2019 di Gd Kesenian Raksawacana saat itu adalah energi berdaya sentak tinggi.

Bagaimanapun juga kuantitas tiga minggu pementasan –sehari dua kali– dengan disaksikan belasan ribu penonton adalah semacam energi cambukan, tantangan, atau minimal sindiran pada kita yang berlumuran budaya instan.

Untuk mencapai stamina kreatif semacam itu tentu perlu jam terbang panjang, skill individu tergembleng, soliditas tim anti pecah, kedewasaan manajerial, serta kiblat spirit yang tidak biasa. Dan sebagai penonton yang selalu nonton duduk di sudut terjauh, saya selalu bisa merasakan getaran itu.

Tiga kali saya menonton berlainan hari –dengan komposisi pemain serta timing yang berbeda– hampir tak ada penurunan kualitas layanan penyajian karya mereka. Mak nyoos bin Mantul semua, kecuali beberapa hal kecil juga gradasi turun sesetrip dua setripnya stamina aktor yang memang berada dalam skala bisa ditolerir.

Bahkan apabila dikomparasikan dengan pementasan Dedes di nun jauh di masa lampau baik yang di Kuningan Plaza atau di GK Rumentang Siang (2001), pencapaian pementasan di 2019 yang disutradari Aipung diproduseri Ki Dalang Anjas dan di Astrada-I Ang Arif ini tidak jauh berbeda, kecuali tentu saja sentuhan apik detail rinci garapan yang menghasilkan aura pentas jadi kolosal, serta improvisasi-improvisasi kontekstual Sang Empu, Almarhum Sutradara Aan Sugianto Mas belum terlampaui oleh anak-anak muridnya.

Tapi ini juga sebenarnya bukan masalah, karena zaman serta dunia memang berubah. Dan setiap zaman setiap dunia tentu perlu ekspresi-ekspresi estetika yang berbeda.

Sebenarnya tiga minggu yang lalu itu saya merindukan kejutan-kejutan sajian baru, semisal tata panggung yang baru yang tidak memakai lagi panggung yang menduplikasi era zaman Pa Aan dulu, akan tetapi misalkan mini panggungnya dipecah jadi mini panggung di sudut sana di sudut situ atau bahkan ekstrimnya ada yang berada di wilayah penonton, dengan tata cahaya yang lincah dan sebagainya, tentu akan lebih menggetarkan terasa.

Tentu saja keinginan-keinginan off side saya itu cepat saya redam, karena saya sadar pementasan kemarin itu adalah sub acara dari acara besar “Membaca Aan Sugianto Mas” yang titik beratnya tentu adalah semacam nostalgia menggali harta karun nilai dari rekam jejak estetika Pak Aan.

Almarhum Pak Aan pergi meninggalkan kesenian kebudayaan Kuningan dalam situasi dimana kebudayaan instant merajalela. Sehingga akan sangat rindu pada beliau yang sangat mengutamakan pentingnya proses, utamanya kedalaman, ketatnya tanggung jawab moral akan sajian detail, serta perlunya toh pati jiwa raga dalam berkarya

Dan yang sangat membanggakan serta mengharukan saya menemukan jejak kualifikasi itu pada hampir seluruh anak muridnya. Tanpa satu persatu menyebut nama saya merasakan rata-rata anak gemblengan Pak Aan sejak zaman Ang Kumis Ida sampai yang generasi yang terbungsu seperti Saefudin memiliki kualitas tempur di atas rata-rata serta memiliki kerendahtian dalam berkarya.

Mereka relatif selamat tak terkontaminasi dari budaya instan ramainya musim para pegiat seperti saya yang berkebudayaan dengan bermodal kenarsisan kenarsisan artifisial yang berlebihan di media sosial.

Sebagai penonton teater saya menaruh hormat dan harapan besar pada anak-anak Teater Sado untuk melanjutkan tradisi kekhusyukan berkarya Pak Aan pada zaman sedangkal apapun, serta lebih jauh lagi lebih menjadikan Teater Sado sebagai salah satu medan atmosfer kebudayaan Kuningan, menjadi bagian dari nuansa Kuningan, semisal Mang Jaya kalau dalam Seni Tutur dongeng enteng, atau Mih Iroh kalau dalam sajian lengko dan kupat tahu.

Ini berarti setiap ingat Kuningan orang akan merasakan rindu untuk menonton kembali Teater Sado dengan segala kelebihan serta kekurangannya dengan segala gerr gerran di sempitnya Gedung Kesenian dengan segala kekhyusukan dalam setiap prosesnya.

Karena memang seperti halnya –Arok– sepertinya pelaku kesenian tulen itu itu harus berani berproses di rimba sunyi penuh gejolak batin sebelum nantinya muncul menggebrak dengan sesuatu yang benar benar genuine bisa ditawarkan pada realitas. Seperti yang Tetater Sado lakukan kemarin buat Kuningan.

Selamat Hari Teater buat Teater Sado, buat teman-teman pegiat Tetater lainnya, serta buat para penonton teater dimanapun…Mari menonton Teater dengan penuh harapan dan bahagia…

27032019;21:11

No More Posts Available.

No more pages to load.