Kita cepat bereaksi terhadap cuitan Achmad Zaky? Tapi apa kita tahu kisruh yang tengah melanda Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)?
Cuitan Achmad Zaky, CEO BukaLapak, seketika menjadi api yang mengancam nasib perusahaan itu sendiri. Sinisme Zaky tentang anggara riset dan pengembangan (R&D) nasional menuai protes. Gerakan #UninstallBukalapak di Twitter pun menggema. Di AppStore dan Google PlayStore, aplikasi e-commerce itu mendapatkan rating bintang yang buruk secara massal, lengkap dengan caci maki di kolom ulasannya. Sebuah bencana reputasi, tentu saja!
Ada dua pasal yang menyebabkan Zaky dan BukaLapak jadi bulan-bulanan warganet. Pertama, Zaky yang mengritik semangat Revolusi Industri 4.0 yang digaungkan pemerintah Jokowi selama ini, dianggap tidak tahu terima kasih. Padahal Zaky dan BukaLapak bisa menjadi salah satu ‘unicorn’ Indonesia juga berkat kebijakan Jokowi yang membuka kesempatan lebar bagi pelaku industri digital. Zaky dicap kacang lupa kulitnya.
Kedua, fatalnya tweet nyinyir Zaky juga salah data. Padahal ia dengan begitu bersemangat ‘melabeli’ itikad pemerintah sebagai ‘omong kosong’ belaka. Data yang dikutip Zaky berasal dari tahun 2013, era sebelum Jokowi menjabat. Di mana anggaran riset dan pengembangan nasional memang hanya 2 miliar dollar saja, 0.08% dari total APBN. Celakanya, berbekal data dari Wikipedia itu, Zaky salah pula memilih bahasa: “Mudah-mudahan Presiden baru bisa naikin.” Katanya.
Bagai menyiram bensin di atas bara api, Zaky pun memicu kebakaran besar. Di media sosial, ia auto-kampret. BukaLapak pun di-blacklist oleh para pendukung Jokowi yang geram terhadap pernyataan CEO-nya itu. Zaky buru-buru menghapus tweet-nya dan meminta maaf.
Saya kecewa pada cara Zaky mengritik. Namun saya lebih kecewa pada cara pendukung fanatik Jokowi yang secara berlebihan menggerakkan #UninstallBukalapak. Untungnya, masalah ini bisa diselesaikan dengan cepat. Setelah Gibran dan Kaesang, dua putra Jokowi ,mengajak para pendukung ayahnya untuk tidak ‘norak’ sampai mengancam ‘membunuh unicorn’ segala. Zaky juga akhirnya bisa bertemu Jokowi di istana—ia meminta maaf dan tentu Presiden memaafkannya.
Buat saya, sebenarnya Zaky tidak sepenuhnya salah. Ia benar soal anggaran riset dan pengembangan nasional yang rendah. Semangat Zaky untuk mengoreksi kebijakan pemerintah soal anggaran riset dan pengembangan layak kita perhatikan dengan saksama.
Di era Jokowi, anggaran riset memang sudah naik cukup signifikan. Menurut data paling mutakhir, seperti bisa kita baca dalam rilis Asian R&D Investment, anggaran riset Indonesia di tahun 2018 sudah mencapai 10,58 miliar dollar, bahkan tahun 2019 mencapai 11,17 miliar dollar. Dalam soal investasi riset, prestasi Indonesia pun beranjak membaik. Dari sebelumnya ranking ke-40 di tahun 2014, sudah merangkak ke ranking ke-27 di tahun 2017.
Namun, harus diakui anggaran itu kecil. Apalagi dibandingkan dengan negara-negara maju yang serius soal riset seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, jangan tanya Amerika Serikat dan negara-negara teratas Eropa. Jika kita pakai pernyataan resmi pemerintah saja, bahwa anggaran riset mencapai Rp26 triliun. Itu hanya 0,98%-nya dari total belanja negara yang mencapai Rp2.461,1 triliun. Anggaran riset kita kelas mustad’afin belaka! Di bawah 2,5% dari total APBN.
Apalagi, jika kita lihat kisruh reorganisasi yang tengah dialami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat ini. Begitu memiriskan hari. Di tengah anggaran riset nasional yang minim, sejumlah tenaga administrasi lembaga itu kini gelisah memikirkan masa depannya. Para peneliti hingga guru besar riset bahkan harus berdemonstrasi dan menggeruduk kantor DPR. Gaji mereka telat dibayar, kesejahteraan mereka tak kunjung naik, masa depan mereka belum jelas. Betapa ini menunjukkan masih banyaknya problem dan PR di seputar riset dan pengembangan di Indonesia.
Dulu saya pernah bekerja di LIPI, ihwal anggaran riset yang kecil, sudah menjadi masalah klasik dari masa ke masa. Perhatian dan ‘political will’ terhadap riset selalu menjadi sandungan untuk riset dan inovasi kita meroket. Dulu, saya ingat, bahkan para pejabat LIPI menghitung ada berapa kata ‘riset’, ‘inovasi, atau ‘iptek’ diucapkan dalam pidato kenegaraan? Kalau masih sedikit, itulah cerminan ‘political will’-nya.
Saya kira, kasus Zaky dan kisruh reorganisasi yang sedang dihadapi LIPI memberi kita alasan untuk lebih serius memerhatikan peningkatan anggaran riset dan komitmen pada investasi SDM iptek. Kalaupun ada gerakan yang mesti dibuat atau petisi yang harus kita tandatangani bersama, pasti bukan tentang misi membunuh unicorn macam #UninstallBukalapak, tetapi tuntutan agar capres-cawapres memasukkan komitmen menaikkan anggaran riset dalam visi dan misi yang akan mereka wujudkan kelak. Poin pengembangan iptek dan SDM perlu kita cermati bersama.
Dalam pertemuan berasama Ahmad Zaky hari ini, Jokowi sudah mengatakan ingin terus memerhatikan dan mengembangkan riset nasional—termasuk konsekuensi anggarannya. Presiden bahkan menggarisbawahi bahwa dana riset 26T yang dialokasikan dalam APBN, beberapa masih tersebar di berbagai kementrian. Kedepan, ia ingin riset, inovasi, dan pengembangan lebih terpusat di bawah satu payung besar. Ini ‘political will’ yang perlu kita apresiasi sekaligus kita tunggu realisasinya. Selain fakta bahwa, sebagai presiden aktif, Jokowi juga masih memiliki waktu untuk membuat gebrakan besar bahkan dalam waktu dekat ini.
Mudah-mudahan Prabowo, sebagai capres penantang Jokowi, pun memiliki visi dan komitmen yang sama. Sehingga kita punya calon-calon presiden yang punya komitmen besar pada dunia riset dan pengembangan. Sebab itu yang akan membuat Indonesia terus maju dan menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Kita tak perlu gerakan #UninstallBukalapak di tahun politik ini. Kita perlu mendorong kedua kandidat yang tengah bertanding untuk mau membuat komitmen, seberapa besar perhatian yang akan mereka curahkan untuk dunia ilmu pengetahuan dan teknologi? Itu yang layak kita tunggu! Mudah-mudahan anggaran riset kita tak mustad’afin lagi.
Jakarta, 16 Februari 2019
FAHD PAHDEPIE