Oleh M. Rizal Fadillah
Kehebohan soal film Dilan dahulu yaitu saat Jokowi menyampaikan pandangannya setelah menonton. Dengan tanggapan “belepotan” videonya menjadi viral.
Dilan film remaja bernuansa “percintaan anak sekolahan” yang minim nilai edukasi apalagi patriotisme telah dipuji habis oleh Presiden. Kemudian di medsos sering dijumpai gelar “si Dilan” untuk menyebut Presiden. Nadanya tidak dalam porsi penghormatan.
Kini Dilan muncul lagi. Dan karena syuting di Bandung, maka mantan Walikota Bandung bikin heboh. Muncul idenya untuk membuat “Taman Dilan” yang kemudian menjadi “Pojok Dilan” tempat yang diperuntukkan remaja berkumpul katanya.
Banyak kalangan memprotes urgensi dan relevansi dibuat monumen meski dengan sebutan “pojok”. Dikaitkan Dilan dengan literasi tentu tak nyambung karena itu film kok, meski berbasis novel. Dikaitkan kreativitas tidak pas karena banyak novelis atau sineas yang juga lebih kreatif.
Penghargaan kepada budayawan ? Budayawan Sunda seabreg yang kreatif, berliteratur, dan diakui publik. Karena lokasi syuting di Bandung ? “Preman Pensiun” dengan bintang Didi Petet jauh lebih bermutu dan “nyunda”.
Filem Dilan tidak terlalu mengedukasi bahkan dari sisi keagamaan bisa dikatakan bersinggungan dengan perbuatan haram. Atau memang mau membuat budaya remaja dan anak sekolah suka “mojok” berpacaran ?
Ridwan Kamil adalah Gubernur Jawa Barat, tapi sayang berwawasan Bandung. Pembuatan taman atau pojok model ini adalah wilayah Pemerintah Kota. Kerjaan dan kreativitas Gubernur justru ditunggu untuk yang “kelas Gubernur”.
Atau ini bagian kampanye politik dalam menjaring kaum milenial ? Wah lebih parah jika iya.
Gubernur yang rajin dan gesit mengkampanyekan pasangan Capres/Cawapres Jokowi Ma’ruf ini dinilai kebablasan jika sampai ke pojok pojok seperti ini. Baliho Gubernur bersama Capres/Cawapres saja sudah dinilai tak etik dan tak netral bahkan jika diproses serius masuk kategori pelanggaran.
Dilan tak pantas dimonumenkan. Jika idola remaja hanya sampai Dilan, maka sulit mendorong anak remaja untuk cinta kerja keras, kreatif di area keilmuan, olah raga, atau seni budaya. Menjadi anak saleh yang rajin ke masjid, atau yang sopan pada guru dan orang tua.
Generasi milenial jangan dimotivasi menjadi generasi hedonis yang memberhalakan romantisme dan cengeng karena urusan pacaran. Jadian dan putus. Tentu ada nilai positif, tapi tak sebanding dengan kultur pragmatisme dan hedonisme yang terbangun.
Promosi hingga ke ruang politik dimana pejabat politik lebay melebih lebihkan nilai yang dikemas, rasanya tidak pada tempatnya. Bandung adalah kota perjuangan, esprit d’corps “Persib nu aing” atau kota pendidikan, lebih baik untuk di gaungkan ketimbang pojok Dilan di Saparua yang dulu dikenal dengan Taman Maluku yaitu “pojok” LGBT.
Moga pengidolaan dan pemonumenan Dilan dan dukungan besar dari Presiden sampai Gubernur ini tidak menjadi warna negeri atau “warna warni” negeri. Negeri pelangi. Negeri Dilan. Negeri yang tak mampu memilah dan memilih mana yang bernilai atau tidak, mana seniman lokal yang berjasa atau seniman selintas.
Tokoh yang jadi teladan atau tokoh buatan. Melayang di alam khayal tak berdiri di kaki realita. Bangsa yang memberhalakan kehidupan hura hura. Apalagi demi pelanggengan kuasa dunia.
Sekedar film mungkin biasa, tapi melebih lebihkan dan memuja justru bisa menuai bala.
Teman penggemar kuliner usul lebih baik buat saja monumen “bala-bala”. Ah Ridwan Kamil, ada ada saja.
Bandung, 28 Februari 2019