Sekarang, lihat sekeliling calonmu, atau partaimu, siapa yang di sekitarnya paling banyak pengkhianat dan orang munafik. Mereka sekedar basa-basi, seolah saling dukung padahal saling tikam, pura-pura akrab. Siapa yg dicintai secara tulus dan siapa yg dijilat sampai halus.
Dalam pergerakan, saya belajar ikhlas dari banyak orang, dan melihat bagaimana kepalsuan dan basa-basi bikin sakit kepala. Ada tokoh yang ikhlas bekerja membesarkan partai. Tapi ada yg bekerja menjilat pimpinan. Lalu yang punya sikap di depan pimpinan dimatikan.
Dalam pergerakan, sekarang saya bersama orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, bersaudara dalam kesetaraan dan pengertian saling setia. Karena kami tidak suka feodalisme dan budaya asal bapak senang. Bukan karena kita muda, tetapi karena kita ingin kemajuan.
Teman saya, @anismatta dan banyak lagi yang merintis jalan politik dari awal adalah sosok dewasa. Mereka memulai budaya egaliter dalam perjuangan. Mereka tajam pikirannya dan senang agar semua orang bicara dalam medium yang setara. Itu yang kami rencanakan dalam politik bangsa.
Tapi, ternyata tidak mulus, ada yang tidak suka anak muda bicara apa adanya. Ada yang ingin dipuja karena posisi dan keistimewaan status sosial. Kami disingkirkan karena ingin agar antara kita kaum pergerakan tidak perlu ada yang disegani sampai kita tak punya akal.
Dan feodalisme itu yang kami lawan, lalu semangat egaliter ini kami gunakan untuk membangun kemerdekaan. Untuk memberi harapan bahwa kita bisa membangun mimpi kita sejauh yang kita berani. Feodalisme itu buruk bagi mimpi kita karena itu kita lawan.
Memang, tidak mudah bagi pemimpin keluar dari lingkaran feodalisme apabila dia tak paham bahaya feodalisme yang senantiasa mencoba merasuki jiwanya. Mulai dari perasaan istimewa sebagai orang yang memimpin, lalu orang-orang mulai mencium tangannya dan memuji setinggi langit.
Jika bakat feodal ada dalam diri seorang pemimpin, wajah senyum akan menutupi kesombongan yang sebenarnya bersemayam. Nanti sombong itu nampak dalam bentuk; menolak kebenaran. Lalu mulailah mesin penjilatnya bekerja membungkam kritik dan nasehat sahabat. Apalagi publik.
Saya membaca sejarah, membaca bagaimana tiran dan despot serta para penguasa yang zalim sakit jiwa. Melindungi diri dari kebenaran dan kritik. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana feodalisme menjadi wabah yang menghancurkan kemesraan antara pemimpin dan rakyat.
Dan sekarang, kemunafikan menyempurnakan topeng yang meliputi feodalisme. Pemimpin yang dianggap ramah dan santun itu; kalau berbicara ia berbohong, kalau berjanji ingkar dan kalau dipercayai sebuah amanah kepemimpinan ia berkhianat. Tapi semua bertepuk tangan dan jempol.
Tapi jangan lupa, tentang pengkhianatan. Feodalisme membuat mekanisme saling menipu yg berjalan. Pada dasarnya semua sedang merencanakan pengkhianatan karena dalam kepemimpinan feodal tak ada yang sejati. Tak ada ketulusan. Asal bapak senang adalah transaksi murahan.
Semua pemimpin feodal akan ditinggal saat mulai nampak akan jatuh dan kalah. Semua akan menyelamatkan diri. Sebagaimana mereka bergabung dan memuji karena menyelamatkan diri, diujung semua akan memikirkan diri sendiri dan berkhianat. Itu hukum besi feodalisme.
Enyahlah feodalisme dari negeriku. Tumbanglah. Kalian biang kerok kehancuran akal dan pikiran. Kalian biang kerusakan jati diri dan kedewasaan. Hanya ada dua kata buat kalian. Aku lawan!
twitter @fahrihamzah 4/3/2019