Oleh Kelik NW
Dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM, sekitar sepuluh tahun yang lalu, Jakoeb Oetama menyampaikan, pers Indonesia saat itu mendapatkan kebebasannya. Istilah pendiri Kompas ini, freedom from, sedang menuju freedom for.
Bila selama orde baru, pers Indonesia mengalami keterkekangan, maka reformasi membebaskannya. Sangat kentara perbedaan pemberitaan pers orde baru dengan reformasi. Pun dalam hal manajerial perusahaan.
Pers Indonesia digolongkan sebagai pers yang lahir di era penjajahan maka berideologi pers perjuangan. Pers yang berisi para ideolog dan pejuang anti penjajahan. Dapat dilihat pemberitaannya pun lebih banyak menyadarkan rakyat Indonesia untuk berani melawan atas penjajahan.
Para pembaca koran saat itu, kaum menengah ke atas yang mendapat pendidikan dari bangku sekolah yang didirikan Belanda. Tidak semua alumni sekolah yang sadar tertindas dan berusaha membebaskan bangsanya. Ada juga alumni yang nyaman bekerja sebagai aparat pemerintah Belanda.
Koran sarana tepat bagi pejuang untuk menyadarkan rasa nasionalisme di kalangan terdidik. Bukan hal mudah. Tapi banyak anak muda yang berani mengungkapkan gagasannya dengan menulis, mencetak dan membagikan koran sendiri. Secara tidak disadari, para pendiri bangsa ini adalah para jurnalis. Jurnalis pejuang.
Berbeda dengan ideologi pers barat yang lebih kapitalistik. Mengedepankan pers sebagai alat mengeruk keuntungan. Jurnalis di tempatkan sebagai salah satu alat produksi dalam satu mesin penghasil uang.
Saat bagian mesin ini aus atau melenceng, tidak sesuai keinginan pemilik mesin produksi maka ia akan di depak. Maka tidak ada jalan bagi para jurnalis ini yang menempatkan dirinya secara sadar sebagai bagian dari mesin produksi ini.
Apa yang disampaikan oleh Jakoeb Oetama saat itu, ingin meneguhkan pers itu tidak bebas nilai. Pers mesti berpihak. Keberpihakan pers, dalam pandangan saya, kepada, pertama, kaum tertindas. Proses penindasan sampai kapanpun akan terjadi.
Hasrat manusia untuk menguasai manusia lainnya begitu tinggi. Akan terus lahir kaum tertindas baru. Pers mesti menyuarakan jeritan nurani mereka. Sebab, sang penindas kerap membungkam suara mereka. Terminologi penindasan, penindas dan kaum tertindas terus mengalami pemaknaan baru. Pers paham itu.
Kedua, kebenaran. Suara kebenaran bukanlah suara mayoritas. Suara kebenaran suara, yang seharusnya. Bukan menyerah dengan kuasa mayoritas walau itu salah. Kebenaran itu tak berpihak. Klaim kebenaran yang dikuasai sebagian pihak. Hingga ia mengaburkan esensinya.
Ketiga, pers Indonesia berpihak pada nasionalisme. Walau, nasionalisme menuju masa akhirnya. Hingga kini, pers Indonesia wajib menjaga marwah bangsa. Suatu saat, tak ada lagi batas wilayah negara. Maka, keempat, pers berpihak pada humanitas. Pembelaan kepada nilai kemanusiaan universal.
Dalam kenyataannya kini, pers Indonesia kehilangan kompas. Ini terbukti saat ini. Pers Indonesia kehilngan objektivitasnya. Pers Indonesia yang diharapkan menyalak bak anjing penjaga kini nyenyak dalam kenyamanan.
Secara kasat mata, pers Indonesia kini tidak beda dengan saat orde baru. Menjadi corong penguasa. Nada yang dinyanyikan oleh pers Indonesia sama. Bila ada pers yang bernada sumbang, ia akan dibreidel.
Ironi, saat kebebasan itu digenggam, pers Indonesia malah memasung dirinya sendiri.