Di Media Sosial, Mengapa Mendukung Jokowi Terasa Salah

oleh -562 Dilihat
oleh

Oleh Fahd Pahdepie*

Pilpres tinggal dua bulan lagi. Kampanye makin gencar di mana-mana, termasuk di media sosial. Masing-masing kubu membangun narasi untuk membuat kandidat jagoannya lebih hebat dari kandidat lain. Memperdebatkan program dan janji politik. Juga menyoal yang salah—meski dari masa lalu—di masing-masing kubu.

Harus diakui, di media sosial gegap gempita dukungan terhadap Prabowo-Sandi lebih terasa gaungnya. Di Twitter, pendukung paslon 02 lebih nyaring. Di Facebook, percakapan juga cenderung memojokkan pendukung Jokowi. Di banyak WA grup perdebatan terasa kurang imbang. Lalu lintas dan intensitas isu yang merisak Jokowi (negative campaign) juga seolah menggulung pendukung paslon 01.

Tak berhenti sampai di situ, kerap dalam polling online, Jokowi-Ma’ruf kalah telak! Bahkan jika jajak pendapat daring itu dilakukan di kandang Jokowi sendiri—baik di akun pendukung atau relawan. Buzzer digital Jokowi, juga para social media influencer yang pada 2014 lalu relatif menguasai ruang-ruang percakapan online, seperti kehilangan tajinya. Medan pertarungan sudah berubah.

Lihat saja faktanya: Addie MS kerap dibuli. Guntur Romli dicaci maki. Abu Janda jadi bulan-bulanan. Sementara social media influencer Jokowi yang lain relatif diam, sayup-sayup, memilih untuk hanya bersikap reaktif—pada isu tertentu saja atau yang menyerang mereka secara pribadi. Sebaliknya, akun-akun pendukung Prabowo menjadi Primadona: Mulai dari Rocky Gerung sampai Fahri Hamzah. Apa yang sebenarnya terjadi?

Saya melihat dua alasan untuk menjawab fenomena ini. Pertama, harus diakui bahwa kubu Prabowo-Sandi memainkan kampanye media sosial secara lebih baik dan sistematis. Semua terarah. Semacam ada kontrol dan komando yang jelas. Ibarat sepakbola menyerang, filosofi mereka ‘attack-attack-attack’. Even their defensive style is also attacking! Sementara di kubu Jokowi, komando tak terlihat jelas. Pengelolaan isunya relatif berantakan, bahkan kadang sporadis. Diperparah, sepertinya pemilihan ‘juru bicara’ media sosial mereka (atau paling tidak yang kebetulan muncul ke permukaan), ‘ndilalah’-nya nyebelin semua! Kurang simpatik di mata publik.

Kedua, hal ini menunjukkan fakta bahwa Jokowi memang kalah di segmen pemilih kota, berpendidikan tinggi, dan kaum terpelajar. Kalau melihat hasil pemilu 2014 lalu, Jokowi memang kalah telak di kantong suara ini. Namun menang telak di kantong suara lain: Wong cilik, tinggal di pedesaan, berpendidikan SMA ke bawah. Masalahnya, Jokowi tetap menang karena populasi pemilih yang menjadi basis Jokowi (less educated, medium-low) memang merupakan pemilih mayoritas di Indonesia.

Maka wajar jika di media sosial, Jokowi dan pendukungnya menghadapi pertarungan yang berat. Karakter mayoritas pengguna media sosial yang urban, berpendidikan tinggi, dan menengah-atas memang bukan basis utama Jokowi. Tetapi basis Prabowo. Meski banyak survei masih menunjukkan pengguna media sosial yang mendukung Jokowi juga cukup tinggi, dari segi pengaruh (influence) masih kalah oleh pendukung Prabowo-Sandi. Mereka lebih ekspresif dan berani. Jika ingin memenangkan kantong suara ini, strategi kampanye media sosial Jokowi tentu saja perlu diubah. Perlu lebih simpatik lagi, perlu lebih terbuka.

Namun, media sosial memang bukan satu-satunya medan pertarungan dan tak bisa dijadikan barometer untuk melihat keseluruhan perilaku pemilih. Total penetrasi pengguna media sosial di Indonesia hanya 56% dari total penduduk (WeAreSocial, Politicawave, 2019), belum ada statistik berapa di antara jumlah itu yang punya hak pilih. Sementara total populasi masyarakat yang berpendidikan tinggi (kantong di mana Jokowi kalah) hanya sebesar 11,5% (BPS, LSI, 2019).

Artinya, masih ada ruang lain yang perlu diperjuangankan. Ruang yang menjadi PR Prabowo untuk merusak basis pemilih Jokowi: Wong cilik, tinggal di pedesaan, berpendidikan rendah. Masuk akal rasanya jika pola kampanye lapangan Prabowo juga jadi berubah, berusaha menggapai segmen ini. Prabowo tampil lebih humanis, merakyat, bahkan kadang nyanyi dan joget-joget. Namun pastinya berat melawan kampanye Jokowi yang konsisten ‘memanjakan’ segmen ini—termasuk dengan KIP, KIS, PKH, Sertifikat Gratis, dan lainnya.

Jokowi masih unggul telak di empat lima kantong suara: Pemilih muslim, pemilih wong cilik, pemilih minoritas, pemilih wanita, dan pemilih milenial (LSI Denny JA, 2019). Barangkali itu yang masih membuat elektabilitas Jokowi unggul di berbagai survei, lebih dari 20%. Jokowi mentok di angka 54%, Prabowo masih terus berusaha mengejar dari angka 31%. Tren suara Prabowo harus diakui terus naik, masalahnya apakah cukup waktu dalam dua bulan untuk mengejar Jokowi—sekaligus menggerusnya?

Kini, waktu tinggal dua bulan. Ada sisa sekitar 14% suara yang bisa diperebutkan. Jokowi tak boleh terus kalah di segmen pemilih kota dan menengah atas. Prabowo tak boleh hanya unggul di kalangan pemilih terpelajar. Tentu saja, di tengah upaya itu, media sosial sama sekali tak bisa dijadikan ukuran! Hanya sebagai salah satu cermin saja untuk melihat bagaimana angin berembus.

Mudah-mudahan ini menjelaskan kepada kita mengapa di media sosial mendukung Jokowi kerap terasa salah? Karena pendukung Prabowo jauh lebih agresif di sana. Mungkin ini saatnya para pendukung Jokowi untuk keluar dan mulai menguasai ruang-ruang percakapan digital (lagi). Meski mendukung Jokowi di media sosial tetap akan berat, harus siap mental.

Termasuk saya. Setelah menulis catatan ini, rasanya akan banyak menerima kritik dan hujatan. Karena tidak mudah menyajikan fakta dan mengatakan semuanya apa adanya… Betapapun saya berusaha sejernih mungkin menuliskannya.

Jakarta, 9 Februari 2019

FAHD PAHDEPIE
Penulis, CEO Digitroops Indonesia

No More Posts Available.

No more pages to load.