Jurnalisme Pada Era Masyarakat 5.0

oleh -1556 Dilihat
oleh

Oleh Roni Tabroni

Membincangkan jurnalisme di tengah semakin mengendornya keinginan publik mengakses media-media maenstream seperti cetak dan televisi, antara penting dan tidak. Jika media hadir untuk memenuhu kebutuhan pemiliknya tentu sudah tidak relevan.

Dunia jurnalisme mengabdikan seluruh potensinya untuk memberikan pelayanan kemanusiaan yang universal. Media massa sebagai sarana penyaluran memungkinkan idealisme itu sampai kepada yang membutuhkan.

Maka di momentum Hari Pers Nasional (HPN) 2019 ini kita menjadi lebih fokus pada kualitas jurnalismenya. Sedangkan platform media massa sendiri bersifat dinamis seiring perkembangan teknologi informasi.

Di HPN 2018 di Padang, Dahlan Iskan secara lantang menyampaikan para wartawan cepat beralih ke teknologi baru. Tinggalkan cetak karena sudah ditingglalkan publik. Entah seloroh atau serius, namun statement itu sebenarnya mengingatkan insan media cetak akan tantangan yang tidak ringan. Buktinya tidak sedikit wartawan senior hengkan dari cetak dan beralih ke online.

Walaupun ada tren menurun, tetapi pembaca cetak kini masih dianggap tinggi. Hasil riset Nielsen menginformasikan untuk kasus Indonesia pembaca media cetak masih cukup tinggi. Alasannya ada pada kepercayaan pada konten. Namun demikian secara perlahan pembaca itu kemudian menurun karena beralih ke platform baru yang lebih dinamis, murah dan mobile.

Hal sama juga pengalihan menyimak media dialami televisi. Masyarakat semakin banyak yang hanya menonton berita atau siaran-siaran televisi atau tontonan non analog dari gadget. Pilihan ini strategis karena dapat menghemat waktu. Bahkan seiring banyaknya televisi streaming dan youtube scannel, analog kemudian kehilangan pemirsa.

Lantas apa yang kita perbincangkan dari dunia jurnalisme. Sebab ngotot mempertahankan media lama ini juga menjadi tidak relevan. Maka yang masih tersisa dari semua wacana ini adalah kepercayaan itu sendiri. Bukan percaya pada kertas atau fisik media tetapi pada kualitas produk jurnalismenya.

Melampaui era 4.0, dunia jurnalisme bahkan kini harus mencari cara baru untuk membangkitkan militansi publik akan media (apapun jenisnya). Melimpahnya informasi di kalangan publik harus dilanjutkan dengan upaya baru. Sebab publik kini tidak lagi pada tarap mencari informasi, tetapi apa yang bisa dirasakan manfaatnya dari informasi itu.

Maka dunia jurnalisme kini tidak hanya berorientasi pada produksi informasi semata tetapi juga apa yang bisa dilakukan untuk membantu kehidupan msyarakat. Ketika memberitakan anak kurang gizi, media juga harus menjadi bagian dari solusi itu — tidak cukup hanya menginformasikan.

Media kini tidak lagi mengeksploitasi objek berita yang terpisah dari kerja jurnalistiknya. Media hadir dengan tingkat kepeduliannya untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan sosial. Maka syarat yang perlu hadir adalah sikap empati dari insan media terhadap objek berita.

Jurnalisme menjadi sebuah ruang aktualisasi yang membangun kesamaan pandangan antara pelakunya dengan objek berita. Tidak cukup hanya bersimpati, tetapi juga harus membangun kesamaan rasa dan melangkah bersama dengan publik.

Maka upaya lain dari mewujudkan sikap empati itu adalah membangun kesadaran publik untuk mau berkolaborasi dengan para pembaca atau penontonnya untuk bersama-sama membangun gerakan sosial. Membangun kepedulian publik terhadap konten media dan bersamanya hadir di tengah masyarakat.

Masyarakat yang sudah melek teknologi dengan perangkat yang semakin canggih, memudahkan mereka untuk melakukan gerakan bersama-sama secara berjaringan. Dengan semangat kebersamaan dan didorong oleh isu kemanusiaan maka jurnalis menggerakan jaringan publik untuk sebuah perubahan.

Maka produk jurnalisme syaratnya tidak lagi berkutat pada kecepatan, tetapi pada kelengkapan, pendalaman, dan akurasi data. Gaya penulisan keluar dari pakem lama yang berkutat pada 5W+1H, serta mengenyahkan slogan bad news is good news.

Mata kamera media harus diarahkan pada isu-isu strategis, berbasis pada kemanusiaan yang universal. Pengambilan sudut pandang dan framing media didasarkan pada kepentingan kemanusiaan dan kebenaran. Dibutuhkan kemampuan menulis yang lebih eksploratif, tajam, menyentuh, bahkan menggairahkan pembacanya.

Tradisi jurnalisme yang berorientasi pada masyarakat 5.0 tidak lagi meratap-ratap tentang harga kertas, tentang potongan pajak, atau meminta belas kasihan pemerintah lainnya. Jurnalisme harus tetap tegar dan mandiri bahkan kembali menjadi pihak yang mengambil bagian dalam proses pembangunan dan menciptakan iklim demokrasi dengan baik, caranya menghidupkan partisipasi publik dan bersamanya bergerak melakukan aksi-aksi produktif.

Penulis adalah Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

No More Posts Available.

No more pages to load.