Presidential Threshold dan Medsos

oleh -669 Dilihat
oleh
Effendi Gazali | Foto TEMPO

Effendi Gazali | Peneliti Komunikasi Politik

Mahkamah Konstitusi (MK) memang sudah berada pada posisi mesti mengabulkan pemilu serentak. Hal tersebut adalah original intent (kehendak asli) pembentuk konstitusi.

Persidangan di MK berlangsung satu tahun lebih sejak Januari 2013 hingga Januari 2014. Dari Koalisi Masyarakat Sipil, di samping saya sebagai pengaju dan Wakil Kamal SH, MH sebagai kuasa hukum, tampil beberapa ahli dan saksi fakta.

Antara lain Profesor Saldi Isra (peneliti di Pusat Kajian Konstitusi Unand, sekarang Hakim MK), Doktor Irman Putrasidin (pakar hukum tata negara), Didik Supriyanto (pakar kepemiluan, saat itu dari Perludem), dan Profesor Hamdi Muluk (pakar psikologi politik UI). 

Ini membuktikan bahwa bahkan kajian psikologisnya pun sudah diantisipasi sejak 6 tahun lalu. Juga tampil saksi fakta (alm) Slamet Effendi Yusuf, Ketua Badan Adhoc 1 saat amandemen konstitusi. 

Saat putusan dibacakan awal 2014, dan ditunda pelaksanaannya ke pemilu 2019, hampir seluruh pihak memujinya. Mulai dari Ketua MPR saat itu Romo Sidarto Danusubroto, Guru Bangsa Profesor Din Syamsuddin, aktivis M Fadjroel Rachman, dan masih banyak lagi. 

Jadi kalau sekarang Ketua MK Anwar Usman kepada publik menyatakan ikut menyesal mengabulkannya, maka akan muncul pertanyaan. Selain seorang hakim MK tidak etis mengomentari keputusannya, maka dia seperti ingin mengatakan bahwa kehendak asli konstitusi boleh tidak dilaksanakan.

Jangan lupa dalam persidangan yang panjang itu sudah didengarkan seluruh fakta, bantahan, ilmu, dan tanya-jawab dengan ahli-ahli dari DPR, pemerintah, KPU, dan semua pihak terkait. Jadi persidangan panjang itu bukan ruang hampa peradaban antara pengaju uji materi dengan hakim MK, yang bisa sesuka hati mengabulkan atau menolaknya. 

Sekarang kita masuk ke substansinya. Sekarang banyak ditulis bahwa alasan pengajuan uji materi ke MK tentang sistem pemilu adalah penghematan biaya. Pernyataan ini tak lain adalah framing (cara membungkus isu, kadangkala cara memelintir isu) dari pihak tertentu.

Penghematan biaya dan waktu memang menjadi beberapa pertimbangan praktis. Namun, tanyalah kepada seluruh pengaju uji materi tentang pemilu ke MK. Salah satu kepedulian utama mereka pastilah Presidential Threshold (selanjutnya kita singkat dengan PT). Ini adalah ambang batas pencalonan pasangan capres dan cawapres yang dibuat oleh pemerintah dan DPR sebagai pembentuk Undang-Undang pada suatu waktu dalam sejarah (historical situatedness). 

Untuk yang belum mengetahui, secara sederhana dapat dinyatakan: PT adalah persyaratan untuk memiliki sejumlah kursi DPR atau sejumlah suara nasional pada pemilu sebelumnya, barulah dapat mengajukan pasangan capres & cawapres. 

Sejatinya pembentuk Undang-Undang Dasar kita, baik aslinya maupun sesudah amandemen, hanya menyatakan: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Tidak ada PT sama sekali di situ. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak maju ke MK awal Januari 2013. Saat itu belum ada kubu pasangan capres ini dan itu. Fakta ini membuktikan bahwa kami hanya peduli pada perbaikan sistem. Bukan untuk membela pasangan capres tertentu.

Yang justru menjadi kekhawatiran kami pada saat ini adalah menggilanya media sosial (medsos). Bersama dengan jenis media lain yang dimungkinkan oleh internet, medsos mulai terbukti jadi penghancur peradaban, dan saat itu telah memasuki berbagai sisi peradaban politik di dunia. 

Apa hubungannya medsos dengan Presidential Threshold? Hal ini memang tidak dapat dibaca dengan simpel. Mari kita pelan-pelan menelusurinya. Memang PT di Indonesia dipatok pada angka 20 % kursi DPR atau 25 % suara nasional dari pemilu sebelumnya. 

Artinya secara matematik, masih dimungkinkan terjadi 4 pasang atau 5 pasang capres dan cawapres. Tapi faktanya pada saat itu sudah terasa keinginan untuk membuat hanya lahir dua kubu pasangan capres dan cawapres saja. Itulah yang ingin kami antisipasi dengan segala kemampuan ilmu kami. Kebetulan hal tersebut sejalan dengan original intent (kehendak asli) pembentuk konstitusi.

Jika suatu negara, pasangan capres dan cawapresnya hanya dua, maka sudah bisa dipastikan bangsa itu segera terbelah! Dan pada saat itu juga bangsa terbelah tersebut bagai diumpankan ke mulut menganga perusak peradaban, yang namanya media sosial dan wujud daring lainnya.

Bangsa Indonesia telah mengalaminya sejak Pemilu 2014. Dan luka lama kembali diruyak dengan semacam pertarungan ulang (rematch) dua kubu, yang hanya berganti pasangan calon wakil presidennya.

No More Posts Available.

No more pages to load.