Meski dikenal sebagai kelompok kultural yang hierarkis, sehingga terkesan feodal, saya justru melihat masyarakat Jawa sangat terbuka. Mereka cenderung tidak gumunan terhadap hal-hal baru yang terkadang mengejutkan. Mereka lebih mampu menanggapi perbedaan secara santai.
Saya kurang paham mengapa hal itu bisa terjadi. Tampaknya pengalaman sejarah kalah-mengalah-dikalahkan masyarakat Jawa yang sangat panjang dan lama membuat mereka cukup siap menghadapi perubahan, termasuk yang kurang diinginkan. Cara mereka melawan apa yang dianggap tidak adil, misalnya, sangat elegan.
Oleh karena itu, saya belakangan sering merenung bahwa jangan-jangan demokrasi membutuhkan karakter masyarakat yang hierarkis seperti dimiliki oleh orang Jawa. Unggah-ungguh bahasa mereka yang rumit memberikan kekebalan tertentu yang penting kehadirannya di tengah gelombang ujaran kebencian saat ini. Lapisan kultural bertingkat yang terjaga membuat mereka cukup kukuh mempertahankan otoritas tradisional di tengah arus gelombang matinya kepakaran sekarang ini.
Hal sebaliknya terjadi di kelompok-kelompok kultural yang kelihatannya egaliter. Mereka yang menolak stratifikasi penggunaan bahasa daerah justru mudah sekali terjebak dalam lautan kata-kata yang penuh sumpah serapah. Mereka yang suka mengunggulkan nilai-nilai kebebasan personal dalam kenyataannya sulit menerima fakta tentang tukang kayu yang berhasil berkompetisi menjadi presiden.
Tentu saja renungan enteng-entengan seperti ini adalah generalisasi. Tetapi berbagai gejala yang berseliweran di hadapan kita, khususnya di media sosial, meyakinkan saya bahwa karakter masyarakat yang hierarkis seperti Jawa tidak perlu selalu dipahami secara negatif sebagai sesuatu yang bertentangan dengan demokrasi. Seperti jamu, apa yang terasa pahit boleh jadi adalah obat dalam penyembuhan penyakit.