Effendi Gazali | Tidak gampang untuk mengakuinya, namun peradaban Indonesia sedang rusak oleh Pemilu 2019 ini. Bayangkan, di satu sisi terdengar kabar, antara lain dari pimpinan negara ini, bahwa tak kurang 22 (dua puluh dua) pimpinan negara lain memuji pelaksanaan Pemilu 2019.
Di sisi lain, lebih dari 400 pelaksana pemilu, utamanya KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), ditambah pengawas pemilu meninggal dunia. Sekitar 3000 lainnya terbaring sakit. Dan setiap hari bangsa ini masih dalam konflik soal keakuratan penghitungan suara. Juga soal kecurangan pemilu. Terdapat segelintir bahasannya di media arus utama. Dan berlimpah di media internet serta terutama media sosial.
Jumlah KPPS yang meninggal sering dibandingkan dengan korban peristiwa terorisme. Antara lain Peristiwa Bom Bali. Lalu dengan cepat telunjuk diarahkan ke siapa penyebab kematian ini. Seakan-akan kematian KPPS dalam jumlah besar itu adalah sesuatu yang berdiri sendiri (ceteris paribus), terpisah dari peradaban yang sedang dirusak.
Seorang wartawan di laman Facebook-nya menulis dan melimpahkan semua kematian itu pada saya selaku pengaju uji materi undang-undang terhadap konstitusi, mengenai Sistem Pemilu Indonesia.
Juga kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi tersebut sehingga lahirlah pemilu serentak. Bahasanya penuh ejekan personal, dan menggolongkan saya sebagai kelompok “Salawi” atau “Selalu Menyalahkan Jokowi”. Itulah mungkin basis posisinya di tengah penghancuran peradaban ini.
Ada juga Buya Syafii Maarif, guru bangsa yang akan selalu saya hormati, yang juga meminta agar seluruh pengaju uji materi, dan yang memuji pemilu serentak pada saat dikabulkan, menyesal dan menarik seluruh ucapannya. Terdapat pula Ketua DPR, anggota DPR, dan pengamat pemilu yang segera menyatakan kejelekan dari apa yang sedang terjadi, dan mengusulkan segera aneka perbaikan.
Pertanyaan amat mendasar: di mana posisi mereka semua sejak permohonan uji materi pemilu serentak dikabulkan MK Januari 2014? Ada waktu lebih dari 5 tahun 2 bulan untuk mempersiapkan undang-undang pemilu serta manajemen kepemiluan.
Semua tuduhan itu dilontarkan dalam kerangka (framing) bahwa mereka tidak terlibat. Atau bahkan seakan-akan yang terjadi adalah ruang hampa peradaban, yang langsung melontarkan seluruh bangsa ini dari keluarnya Keputusan MK 23 Januari 2014 lalu tiba-tiba besoknya pelaksanaan hari pemilu 17 April 2019.
Sebagai akademisi, saya tidak akan curang, pengecut, atau lempar batu sembunyi tangan. Jika saya harus diperiksa, bahkan kalau ada aturan hukumnya bahwa pengaju uji materi ke MK bisa dipidana, saya siap menjalani.
Bahkan saya lama menunggu dipertemukan dengan semua pihak yang melontarkan telunjuk (dan kelingking berkait itu) dalam sebuah forum ilmiah. Jika mungkin, semoga detikcom berkenan memfasilitasi. Walau tentu saja saya berharap aromanya tidak dalam basis kebencian yang sudah ada, yang dapat makin merusak peradaban kita.