Entah dalam rangka bersopan santun atau apa. Banyak media massa yang menyebut “bintang film porno” menjadi “bintang film dewasa”
Eufimisme semacam ini belakangan marak dalam blantika pola main politik yang berbasiskan peralihan suara dari berbagai segmen masyarakat seluas-luasnya sebanyak banyaknya.
Misalkan, untuk merebut simpati para “penjudi” biar mereka nyoblos kita, kita bisa memanggil mereka dengan sebutan “para petarung probabilitas” dan memanggil “para pemabuk oplosan” sebagai para “peselancar khayalan berbasiskan reaksi kimia”
Entah beragam eufimisme ini positif atau tidak bagi kebudayaan Indonesia. Namun setidaknya bagi saya ini bisa jadi alibi. Saya bisa nonton film porno atau semi porno, karena kalau tidak saya belum masuk kategori sebagai orang yang telah dewasa