Ini akhir pekan yang menyenangkan buat politik. Terutama, pasti, bagi Prabowo-Sandi (02) dan para pendukungnya. Pasalnya, gelar rapat akbar 02 di Gelora Bung Karno (GBK) subuh hingga pagi ini (Ahad, 7/04/ 19), sukses habis.
GBK putih polos. Prabowo juga berada pada puncak stamina. Pidatonya keren. “Itu pidato orang berbahagia,” demikian catatan Kang Eep Saefullah Fatah dalam pesan pendek melalui WhatsApp (WA) kepada saya. Kami pun sempat berdiskusi singkat.
Dari sisi peserta hadir, saya setuju pada pendapat yang mengatakan ini rapat akbar politik terbesar dalam sejarah. Saya sendiri ingin menyebutnya sebagai kerumunan hati. Soalnya, saya belum percaya kalau mereka datang karena dukungan politik semata.
Bukankah tidak pernah ada pula partai politik yang bisa memobilisasi rakyat sedemikian hebat. Mereka datang, saya pikir, karena dihela oleh kegelisahan dari dalam dirinya sendiri.
Apa itu? Saya tidak tahu persis. Jika boleh menduga, barangkali mereka ingin menyatakan dirinya ada, sebagai makna. Mereka tidak betah terus-menerus diposisikan di luar layar, sebagai pemerhati gambar.
Indonesia bukan sebuah lukisan. Mereka sudah jenuh dengan citra. So, mereka ingin menembus ke balik layar, menjadi bagian dari sejarah. Mereka ingin tegaskan: Indonesia itu nyata. Kekayaan tanah air juga nyata.
Sebagai penonton di antara “dua televisi”, tentu saja saya ikut berbahagia. Khususnya karena pagi di akhir pekan ini saya menyaksikan seorang calon presiden berpidato dengan “gaya dan konten” yang nyaris sempurna. Prabowo sedang tunjukkan kepada publik kualitas dirinya: “diri-luar dan diri-dalam sekaligus”.
Dari diri-luarnya saya bersaksi atas bahasanya yang mengalir, gesture-nya yang terjaga, dan penguasaan panggungnya yang oke. Pagi ini Prabowo benar-benar tahu: Beliau tengah berada di mana dan sedang apa. Saya seperti sedang menyaksikan sejarah orasi politik para pemimpin kelas dunia.
Sedangkan dari “diri-dalam”-nya saya mendengar ungkapan yang membuat merinding. “Usia kekuasaan itu tidak lama, dan saya pun sudah tua!” Memang tidak persis begitu ungkapannya. Tapi, saya menangkap demikian intinya.
Bagi saya, ini menjadi semacam janji dan peringatan untuk dirinya sendiri. “Jangan bermain-main dengan kekuasaan, jangan berjudi dengan mandat rakyat. Usia dan kekuasaan tidak lama. Dunia adalah riwayat yang terlalu singkat. Jadikan kekuasaan sebagai ladang amal sebelum berangkat ke akhirat!”.
Saya berharap, pada sebuah pagi yang lain, dalam waktu yang sejatinya sangat dekat, mendengar kualitas pidato dari yang lain yang juga menyengat. Ketahuilah, acap kali rakyat tidak butuh retorika tentang bukti yang telah lewat. Ketimbang demikian, Rakyat lebih memerlukan masa depan yang meyakinkan.
Baiklah, saya tunggu di perempatan, sebelum menjatuhkan pilihan!